Tangisan Sang Bangau
Cerpen Karangan: Safuroh
Ahmad
Pukul 14:00. Tak terasa aku sudah
hampir dua jam duduk berdiam di sini. Di tepi sungai yang tak pernah bosan
mendengar keluh kesah ku, mendengar kebahagiaanku. Suara bangau-bangau itu
membuatku tersadar kembali, bahwa aku harus segera beranjak, aku harus segera
pulang. Aku baru ingat pukul 16:00 nanti aku harus mengantar ibu chek up. Sudah
dari tiga tahun yang lalu ibu sakit setelah ayah menghianatinya. Tak ada lagi
yang bisa diandalkan ibu, kecuali aku. Kakakku sibuk dengan pekerjaannya.
Ku tarik ponselku dari saku
celanaku. Dengan sedikit terburu-buru, ku telpon mas Zakky, kekasihku. Kuminta
dia untuk menjemputku dan mengantarkan ku dengan ibu ke rumah sakit. Tak
berselang lama, Zakky sudah datang dengan Jazzy merahnya. Kami menuntun ibu
masuk ke mobil. Ibu tak pernah bosan dengan perjalanan ini, walaupun rumah
sakit cukup jauh, namun mas Zakky selalu menghibur ibu sehingga ibu pun selalu
menikmatinya. Ibu sudah merestui hubuganku dengan mas Zakky, begitupun dengan
mas Zakky, ia termasuk orang yang mudah bergaul dan beradaptasi.
Kami pun sampai, dan langsung menuju
ruang dokter yang biasa memeriksa ibu. Hatiku tak tenang, aku gelisah hingga
keringat dingin pun mengucur, namun mas Zakky menggenggam tanganku. Itu
membuatku merasa nyaman. Dalam lamunanku, samar-samar aku mendengar suaranya
“tenang sayang, semuanya akan baik-baik saja”. Langsung ku tepis jauh-jauh
fikiran negatifku tentang ibu. Berbarengan dengan itu ibu dan dokter pun
keluar. Tak ada yang menghawatirkanku, ibu keluar dengan senyuman mengembang. Dan
aku pikir dia baik-baik saja. Kami pun pulang.
Kulihat ibu sudah tertidur di
kamarnya dengan pulas. Sudah malam memang, tapi aku tak bisa tidur. Ku hubungi
mas Zakky, ternyata dia juga belum tidur. Cukup lama kami mengobrol. Dia
meminta izin padaku bahwa besok dia akan ke rumah Oka (sahabatku) untuk
mengambil file-file tugasnya. Dia juga memintaku untuk ikut serta, tapi aku
sedang tak ingin kemana-mana. Dia pun menutup telponnya dengan perlahan sambil
berbisik “love you honey, my princess now, tomorrow and forever”, karena sudah
cukup mengantuk ku hanya menjawabnya dengan “yes, me too” dan langsung ku
matikan.
Pagi ini cerah sekali, namun lebih
cerah hatiku yang baru saja menerima pesan dengan sambutan senyuman di layar
ponselku. Dia selalu membuatku bahagia, selalu dan selalu. Dengan ogah-ogahan
aku pun bangkit dari tempat tidur dan duduk di pinggir jendela. Hari ini week
end, dan kebetulan tak ada agenda kemana-mana, sehingga sangat mendukungku
untuk bermalas-malasan seharian. Dalam kesendirianku, aku teringat ayah,
sebetulnya aku rindu, namun kebencianku padanya mengalahkan rasa sayangku
padanya.
Tiba-tiba saja ponselku berdering,
yang membuyarkan lamunanku. Tumben sekali Oka menelponku. Dari suaranya aku
bisa menangkap ada sesuatu yang gak beres yang terjadi dengannya. Aku pun
langsung menanyakannya, namun jawabannya langsung membuatku tak berdaya,
rasanya seluruh sendi-sendi tulangku luruh tanpa tersisa, aku lemas dibuatnya.
Kurang lebih seperti inilah percakapannya:
“Ly, aku minta maaf banget sebelumnya”
suara Oka di ujung sana dengan sedikit tersedu-sedu.
“maaf buat apa Ka, kamu kenapa?” aku pun heran dibuatnya.
“sumpah Ly, aku gak nyangka banget”
“iya kenapa Ka, ngomong dulu baru minta maaf” rengekku agak memaksa
“barusan Zakky ke rumahku”
“iya aku tahu, trus kenapa” tanyaku tak sabar.
“aku kaget banget Ly, masa dia ngungkapin perasaannya ke aku” jawabnya dengan
gemetar.
“maksudnya gimana Ka?”
“iyah, dia ngungkapin perasaannya ke aku, kalo dia suka sama aku. Gila kan?”
Aku tak mau putus, dia pun tetap bersih kukuh ingin putus. Dia tak ingin lagi
denganku, sudah tak butuh. Namun aku juga tak mau mengakhiri ini begitu saja.
Aku menangis, memohon kepadanya untuk tidak mengakhiri hubungan ini. Dia tetap
tak mendengar bahkan mungkin tak mengerti apa yang aku rasakan. Aku mungkin
sudah gila. Aku rela dia tak memberikan hatinya lagi untukku asalkan dia tidak
memutuskanku, bahkan aku rela dia mencintai orang lain, asalkan dia masih
menjadi kekasihku.
Tak kuat aku mendengarnya, aku langsung
ambruk. Tak tahu ponselku jatuh kemana, yang jelas aku tak percaya. Memang sih
sebelumnya mas Zakky pernah cerita kalau dia sempet suka sama Oka, karena Oka
mirip dengan mantannya. Tapi aku tidak membayangkannya sejauh dan senekat ini.
Rasanya baru tadi pagi aku bermesra-mesraan dengannya, walaupun hanya lewat
handphone. Aku diam beberapa saat, aku tak tahu harus bagaimana, karena aku
memang belum sepenuhnya percaya perkataan Oka.
Pening rasanya ini kepala, namun
dengan tertatih aku berusaha mencari ponselku dan meraihnya. Tak membuang waktu
lagi, aku langsung menghubungi kekasihku -mas Zakky- dan meminta penjelasan
darinya. Belum hilang peningku ini, sudah ditambah lagi dengan batu yang
menimpaku, tepatnya menimpa perasaan dan hatiku. Mas Zakky membenarkan apa yang
dikatakan Oka, dia pun menjelaskan bahwa dia sudah tak kuat lagi membohongi
perasaannya, kalau dia memang suka sama Oka. Degg, aku tak tau pikiranku
kemana, namun hatiku hancur, benar-benar hancur. Yang lebih parahnya lagi dia
minta mengakhiri hubungan ini –putus-, hubungan yang selama ini aku jaga
baik-baik selama empat tahun.
Dia tak menghubungiku dua hari ini,
nomornya tidak aktif lagi. Kuliah pun aku tinggalkan. Aku masih tak percaya,
aku layaknya patung. Tak bergerak sedikitpun dari tempat tidurku, apalagi
keluar kamar, ku kunci kamarku. Kehawatiran ibu membuatnya berani dan mempunyai
kekuatan untuk mendobrak pintu kamarku. Ya, saat ini kami hanya berdua, kakakku
sedang ada tugas di luar kota untuk beberapa minggu.
Ibu sedih, menangis melihatku
seperti ini. Tak ubahnya seperti mayat hidup. Tak satu pun pertanyaan ibu aku
jawab, bahkan memberi isyarat pun tidak. Namun sepertinya dia mengerti, dia
langsung menciumku, memelukku seerat-eratnya. Aku bisa merasakan pilunya hati
ibu menemukanku seperti ini, bisa kurasakan dengan basahnya pundakku dengan air
matanya. Sebenarnya aku pun lebih pilu melihat ibu menemukanku dengan kondisi
seperti ini. Namun aku masih tak bisa berbuat apa-apa, mataku masih kosong.
Berkat ibu, keadaanku semakin
membaik, dan belakangan ini aku pun sudah mulai berkomunikasi dengan ibu
walaupun hanya seperlunya. Ibu sangat memahamiku, dia tak pernah sekalipun
menanyakan masalahku, apalagi masalah hubunganku dengan mas Zakky. Tanpa ku
beri tahu dia pun sudah jauh mengerti, dan dia pun tak ingin melihat malaikat
kecilnya semakin terluka lagi. Dalam hatiku menangis. Aku ingin sekali
bercerita kepada ibu tentang kesakitanku saat ini, namun aku tak mau menambah
sakitnya lagi. Cukup fisik ibu saja yang mengalami itu, dan aku pun tak mau ibu
tau betapa kejam dan jahatnya mas Zakky padaku, bagaimanapun aku masih tetap
mencintainya, dan akan selalu mencintainya.
Sepuluh hari sudah aku tak masuk
kuliah. Aku tak mau menambahnya. Hari ke sebelas aku pun mencoba untuk
mengikuti perkuliahan. Teman-temanku hampir tak mengenaliku lagi. Badanku
semakin kurus, dengan tulang-tulang yang semakin menonjol yang hanya terbalut
dengan kulit. Tak ku hiraukan pertanyaan mereka. Aku hanya mencari satu sosok
yang ingin sekali aku menemuinya. Oka, aku ingin sekali bertemu dan mengobrol
dengannya, karena semenjak kejadian tempo hari, baik mas Zakky ataupun Oka tak
ada satu pun yang menghubungiku.
Setelah hampir setengah hari,
akhirnya aku pun berhasil menemukannya. Aku ajak dia mengobrol. Dia pun mungkin
terlihat prihatin melihat keadaanku sekarang, namun dia berusaha bersikap
biasa. Ku awali perbincangan ini dengan menanyakan kabarnya, keluarganya sampai
kuliahnya, yang ujung-ujungnnya ku tanyakan masalah kejadian tempo hari. Dia
meminta maaf. Bukan karena dia tak enak telah membuatku kemarin shock, namun
dia meminta maaf untuk hal yang tidak akan pernah aku maafkan, bahkan mungkin
seumur hidupku. Dia bilang kalau dia sudah jadian dengan mas Zakky, karena dia
juga sebenarnya telah lama jatuh cinta pada mas Zakky.
Oh God! Aku semakin shock
mendengarnya, dan tanpa menghiraukanku dia berlalu meninggalkanku begitu saja
tanpa sepatah kata pun. Gontai ku kayuh kaki ini melangkah, tak kuat rasanya.
Entahlah, aku pun tersadar sudah ada di kamarku. Saat ku buka mataku, ibu
langsung menguntai senyum dan memelukku. Teman kampusku yang membawaku pulang
katanya. Ibu pun kemudian menyuapiku dengan bubur hangat buatannya sendiri,
namun berhenti pada suapan kedua. Aku tak mau lagi, aku tak mampu lagi menahan
bendungan air mataku. Perkataan Oka masih terngiang jelas, bahkan sangat dan
lebih jelas.
Ibu pun tak kuasa menahan ledakan
tangisannya. Kami menangis. Nasib kami sama, ditinggalkan orang yang amat kami
cintai, lebih tepatnya dihianati. Di tengah tangisanku, ponselku berdering.
Dengan sigap ku raih dan ku angkat. Mas Zakky yang menelponku. Pertama dia
meminta maaf padaku atas apa yang telah dia lakukan kemudian dia kembali
memintaku untuk ikhlas melepaskannya, dan merelakannya dengan Oka, yang tiada
lain adalah sahabatku sendiri. Aku tetap tak mau, hatiku sudah buta, bahkan
kesalahannya sekalipun aku sudah tak mampu melihatnya. Percuma, dia tetap
memintaku putus, dan aku pun tetap pada pendirianku untuk mempertahankan
hubungan ini. Dengan perdebatan alot akhirnya kami pun saling sepakat untuk
tetap menjalin hubungan ini (tidak memutuskanku), namun mas Zakky juga tetap
menjalin hubungan dengan Oka.
Aku terima semuanya, aku rela,
bahkan setiap detik ia menyakitiku pun aku rela. Aku tetap kekasihnya. Dengan
sebelah hati, walaupun tanpa sambutan lagi darinya aku jalani hubungan ini. Aku
tak akan menyerah, tidak akan pernah.
Hampir setiap waktu aku mengiriminya
pesan “sayang, semoga harimu menyenangkan. Jangan lupa jaga kesehatanmu”.
Walaupun tanpa balasan, tanpa tanggapan, tetap ku kirim. Tidak pernah bosan aku
melakukannya. Setiap siang sampai menjelang sore, aku duduk di tepi sungai.
Berharap dia datang, berharap dia kembali. Aku tetap menunggunya. Aku sadar di
hatinya sudah tak ada lagi namaku, namun aku yakin di lubuk hatinya yang
terdalam masih terselip sedikit ruang untukku, walaupun dia tak menyadari itu.
Akan aku tunggu sampai dia tersadar, mungkin saja besok, lusa, minggu depan,
bulan depan, atau bahkan tahun depan, dan sampai aku lelah menunggunya.
Bangau-bangau itu memandang ke
arahku, seakan dia mengerti akan apa yang aku rasakan. Seakan mereka ikut
menangis bersamaku. Karena semakin lelah aku pun pulang. Dari kejauhan terlihat
rumahku ramai sekali. Aku masih tak perduli. Tiba-tiba saja ada tetanggaku yang
langsung memelukku sambil menangis. Aku kaget, aku tak mengerti, dan bingung.
Tak sengaja mataku melihat bendera kuning tergantung di tiang depan pagar
rumahku. Aku tak mau berburuk sangka. Aku mencoba menegarkan diriku sendiri.
Tanpa ku bertanya. Telingaku
mendengar sendiri, bahkan mataku pun sekarang melihat sendiri. Orang-orang di
luar membicarakan ibu, dan saat ini di depan mataku terlihat ibu. Orang yang
paling kucintai, yang ku miliki saat ini selain kakakku. Dia diam saja. Dia tak
lagi menyambutku dengan senyuman, apalagi memelukku. Ya, dia sudah terbujur
kaku. Dia pun ikut pergi meninggalkanku, bahkan untuk selama-lamanya. Ibuku
meninggal, dan aku tak tau. Bukan di pangkuanku. Sesak rasanya dada ini, dan
gelap.
Aku tak punya lagi ayah, tak juga
ibu. Kakakku tak pernah mau kembali ke rumah setelah mendengar berita kepergian
ibu. Mas Zakky dan Oka pun tak pernah datang lagi, mungkin dia juga tak tahu
kepergian ibu. Aku benar-benar sendiri.
Seperti biasa, ku datangi sungai
itu, bangau-bangau itu. Aku ingin mencurahkan kepahitanku pada mereka, aku
ingin mengatakan pada mereka bahwa aku sangat mencintai ibuku, aku ingin
menceritakan pada mereka bahwa aku akan selalu tetap setia menunggu mas Zakky,
walaupun tanpa sebab dan walaupun tanpa jawab, akan ku ceritakan betapa
bahagianya aku pernah memiliki mereka walaupun sekaligus betapa pilunya aku
kehilangan mereka. Aku ingin menangis bersama mereka, bersama kalian, wahai
bangau-bangau ku, barang sekejap saja.
Referensi :